Cinta menurut Jalaluddin Rumi dan Imam al Ghazali


Cinta dalam pandangan para sufi adalah cinta dan kerinduan kepada Allah. Cinta yang seperti ini, menurut Maulana Rumi terbagi ke dalam tiga tingkat, yakni,


1. Cinta karena pemberian. Cinta seperti ini berada pada tingkat yang paling rendah. Ibarat cinta seorang anak kecil, jika mereka mencintai orang tua atau orang lain, dipastikan karena mereka sering memberikan hadiah kepadanya. Cinta pada tingkat ini sangat labil dan tidak konsisten, jika kesehatan, kecantikan, ketampanan atau kekayaan dihilangkan atau dicabut oleh Allah, ia akan berkeluh kesah seakan akan Allah tidak pernah mencintai dirinya,


2. Cinta atas dasar kekaguman. Manusia mencintai Allah, karena Allah memang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Mencintai sesuatu atas dasar kekaguman, seperti seseorang mencintai karena orang tersebut memiliki kelebihan dan keluarbiasaan, dan


3. Cinta tanpa alasan. Jika seseorang ditanya “Mengapa mencintai Allah?” lalu menjawab “Saya tidak tau mengapa saya mencintai Allah”. Ia sudah berusaha keras mencari jawaban atau alasan, tapi tidak juga bisa ditemukan. Sebenarnya bukan tanpa alasan, justru begitu banyak alasan sehingga tak mampu ia ungkapkan. Itulah cinta yang suci dan tulus. Begitulah cinta para sufi kepada Allah. Sebuah cinta tanpa mengharap apa-apa.


Sementara menurut Imam al-Gazali, berdasarkan tingkatan cinta tersebut maka bentuk cinta kepada Allah itu bisa berbentuk dalam dua hal, yakni


1. Orang yang jatuh cinta kepadaNya (Allah) setelah merasakan lezatnya pertemanan denganNya. Orang yang jatuh cinta kepada Allah karena perjumpaan dengannya, maka kecintaannya tidak dapat dibandingkan. Ia melihat (ma’rifat) dulu, kemudian jatuh cinta setelah pertemuan itu, dan


2. Orang yang disebut al-dhu’afa’ (orang-orang yang lemah). Umumnya orang jatuh cinta setelah berusaha setengah mati belajar mencintai Dia. Cinta seperti ini direkayasa. Ia tidak jatuh cinta, tapi belajar mencintai.


Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa esensi cinta (mahabbah) yaitu “Sesungguhnya kecintaan yang paling tinggi setelah diraihnya adalah mahabbah. Tidak ada maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu. Tidak ada maqam-maqam sebelum mahabbah, kecuali pengantar kepada mahabbah.


Demikianlah konsep cinta dalam sufisme menunjuk pada kecintaan dan kerinduan untuk bertemu dan bahkan menyatu dengan Allah. Cinta merupakan puncak perjalanan ruhani dan pendakian mistik seorang hamba menuju kehadiratNya. Mencintai Allah, mustahil adanya tanpa didahului pengetahuan dan pengenalan atasNya.

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Posts ADS 3